Anxiety Disorder? Begini Penjelasan Ilmiahnya


Menuju akhir tahun 2019 kita mendengar banyak sekali masyarakat yang mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder). Mulai dari remaja hingga lansia. Bahkan bagi para penggemar K-POP mungkin sudah tidak asing lagi mendengar bahwa idola merekapun mengalami anxiety disorder. Mulai dari Suga BTS hingga IU bahkan yang berita yang baru saja terdengar adalah Mina TWICE yang merupakan deretan idol KPOP yang mengalami gangguan kecemasan.
Masyarakat umum terutama bintang idola merasa kesulitan dalam mengungkapkan perasaanya. Beberapa bahkan kurang begitu perduli terhadap diri sendiri. Ditambah dengan semakin pesatnya media sosial, masyarakat mulai menjadi sangat berhati-hati karena menyadari bahwa tindakan serta perkataan yang diucapkannya akan diawasi oleh publik (Priyanka, 2019).
Kecemasan adalah tanggapan dari sebuah ancaman baik nyata maupun khayal karena adanya ketidakpastian masa depan dan ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Lubis, 2009, p. 14). Gangguan kecemasan memiliki beberapa gejala yang bersifat fisik dan mental. Gejala-gejala yang bersifat fisik antara lain jari tangan dingin, detak jantung makin cepat, berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak nyenyak, dan dada sesak. Sedangkan gejala-gejala yang bersifat mental antara lain ketakutan merasa akan ditimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak tenteram, dan ingin lari dari kenyataan (Sundari, 2004, p. 62).
Menurut Savitri Ramaiah (2003, p. 11) ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kecemasan, antara lain:
1.      Lingkungan. Hal ini bisa jadi karena individu mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan dengan lingkungan sosialnya, seperti keluarga, teman ataupun rekan kerja. Sehingga ia merasa tidak aman. Pengalaman yang tidak menyenangkan dapat juga berupa penolakan dari masyarakat.
2.      Emosi yang ditekan. Kecemasan bisa terjadi jika individu selalu menekan rasa marah dan frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama serta tidak bisa menemukan jalan keluar bagi perasaannya sendiri. Pengalaman-pengalaman emosional atau konflik mental seperti trauma dan konflik juga dapat memudahkan timbulnya gejala-gejala kecemasan.
3.      Sebab-sebab fisik. Hal ini dapat terlihat dalam kondisi seperti misalnya kehamilan, atau ketika menderita suatu penyakit.
Cara terbaik untuk menghilangkan gangguan kecemasan adalah dengan menghilangkan sebab-sebab kemunculannya (Annisa & Ifdil, 2016). Menurut Daradjat (1988, p. 29) cara-cara yang dapat dilakukan antara lain:
1.      Pembelaan, yakni usaha yang dilakukan untuk mencari alasan-alasan yang masuk akal bagi tindakan yang tidak masuk akal. Pembelaan ini tidak dimaksudkan untuk membohongi orang lain, namun untuk membujuk diri sendiri supaya tindakan yang tidak bisa diterima itu masih tetap dalam batas-batas yang diinginkan oleh diri sendiri.
2.      Proyeksi, yaitu menimpakan sesuatu yang terasa dalam dirinya kepada orang lain, terutama tindakan, fikiran, atau dorongan-dorongan yang tidak masuk akal sehingga dapat diterima dan menjadi masuk akal.
3.      Identifikasi, dimana seseorang turut merasakan sebagian dari tindakan atau kesuksesan yang dicapai oleh orang lain.
4.      Represi, yaitu tekanan untuk melupakan hal-hal dan keinginan-keinginan yang tidak disetujui oleh hati nuraninya.
Gangguan kecemasan dapat diklasifikasikan menurut beberapa tipe dan bagaimana penanganannya, antara lain:
1.      Gangguan panik, yaitu munculnya serangan panik yang berulang dan tidak terduga. Gangguan ini dapat diturunkan dari keluarga. Dalam teori biologi, panic disebabkan oleh aktivitas yang berlebihan dalam system noredrenegic (neuron yang menggunakan norepinefrin sebagai neurotransmitter). Serangan panic juga berhubungan dengan pernapasan yang berlebihan atau disebut dengan hiperventilasi. Dalam pendekatan teori kognitif memandang bahwa penderita gangguan panic menganggap kecemasan sebagai sesuatu yang tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat diprediksi. Hal ini juga dapat disebabkan karena cara berpikir yang terdistorsi dan disfungsional.
Penanganan yang dapat dilakukan bagi penderita gangguan panic adalah dengan diberikannya obat-obat antipanik, seperti serotonin dan benzodiazepine. Terdapat beberapa efek samping pemberian obat-obatan antara lain rasa gugup, berat badan bertambah, serta denyut jantung dan tekanan darah meningkat (Taylor dkk; dalam Davison dkk, 2004). Craske & Barlow (2004) mengembangkan terapi pengendalian kepanikan (PCT-Panic Control Therapy) yang memiliki tiga komponen, yaitu training rileksasi, kombinasi interview behavioral kognitif dari Rllis dan Beck, dan pemaparan dengan tanda-tanda internal yang memicu kepanikan (Craske & Barlow; dalam Davison dkk, 2004).
2.      Gangguan Cemas Menyeluruh (generalized anxiety disorder), yaitu suatu gangguan kecemasan yang ditandai dengan perasaan cemas yang umum bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi dan terdapat peningkatan keterangsangan tubuh. Teori psikoanalisis berpendapat bahwa sumber kecemasan menyeluruh (GAD) adalah konflik yang tidak disadari antara ego dan impuls-impuls id. Sedangkan pemikiran utama teori kognitif behavioral menganggap bahwa GAD adalah gangguan yang disebabkan oleh proses-proses berpikir yang menyimpang. Beberapa studi juga mengindikasikan bahwa GAD dapat memiliki komponen genetic. Penanganan GAD dapat menggunakan terapi yang mencakup pendekatan psikoanalisis, behavioral (training relaksasi intensif), kognitif, dan biologis (pemberian obat jenis anxiolytic.
3.      Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD). Mataix-Cols, do Rosario-Campos dan Leckman (dalam Halgin, 2012) menyebutkan bahwa terdapat empat dimensi utama dari simtom OCD, yaitu obsesi yang diasosiasikan dengan kompulsi untuk memeriksa sesuatu, kebutuhan akan hal yang simetris dan meletakkan sesuatu sesuai dengan urutannya, obsesi terhadap kebersihan yang kemudian diasosiasikan dengan kompulsi untuk membersihkan, dan perilaku individu yang menumpuk barang. Dalam teori psikoanalisis, OCD disebabkan oleh dorongan instingtual, seksual, atau agresif yang tidak dapat dikendalikankarena toilet training yang terlalu keras. Teori behavioral menganggap kompulsif sebagai perilaku yang dipelajari dan dikuatkan oleh reduksi rasa takut (Meyer & Cheser, 1970 dalam Davison dkk, 2014). Encefalias, cedera kepala, dan tumor otak juga diasosiasikan dengan terjadinya OCD. Beberapa penanganan yang dapat dilakukan untuk mengobati OCD, antara lain terapi psikoanalisis, pendekatan behavioral (ERP-exposure and Ritual Prevention), REBT, dan penanganan biologis berupa pemberian obat yang meningkatkan level seretonim seperti SSRI.
4.      Gangguan Fobia, yaitu rasa takut yang persisten terhadap objek atau situasi yang tidak sebanding dengan ancamannya. Orang dengan gangguan fobia tidak kehilangan kontak dengan realitas, mereka biasanya tahu bahwa ketakutan mereka itu berlebihan dan tidak pada tempatnya (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Freud menyatakan bahwa fobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang disebabkan oleh impuls id yang ditekan. Sedangkan teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia. Pandangan kognitif mengenai fobia secara khusus berfokus pada proses berpikir manusia yang dapat berperan sebagai diathesis dan pikiran yang dapat membuat fobia menetap. Faktor-faktor biologis yang dapat mempengaruhi terjadinya fobia antara lain aktivitas system saraf otonom yang berlebihandan faktor genetic. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengobati fobia, antara lain pendekatan psikoanalisis, pendekatan behavioral (desensitisasi sistematik dan modelling), pendekatan kognitif, dan pendekatan biologis (obat antidepresan).
5.      Gangguan Stress Akut (ASD) dan Gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD). Gangguan stress akut adalah suatu reaksi dari seseorang yang mengalami suatu trauma yang sangat berat. Gangguan stress akut akan menghilang setelah satu hingga dua minggu, tetapi jika gangguan berlangsung lebih dari sebulan, diagnosis perlu diubah menjadi gangguan stress pasca trauma. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengobati ASD/PTSD antara lain Debriefing Stress Insiden Kritikal, Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR), pendekatan psikoanalisis, dan pendekatan biologis (obat antidepresan dan tranquilizer.
Dari beberapa ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa gangguan kecemasan adalah rasa takut dan khawatir terhadap sesuatu yang mengancap karena ketidakpastian masa depan serta ketakutan nahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Ada beberapa gangguan kecemasan yaitu gangguan panic, gangguan cemas menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif, gangguan fobia dan stress akut serta stress pasca trauma. Berbagai perspektif menjelaskan mengenai terjadinya gangguan kecemasan ini. Perbedaan perspektif tersebut juga berdampak pada perbedaan bentuk penanganan yang diberikan untuk mengatasi gangguan kecemasan.

REFERENSI
Annisa, D. F., & Ifdil. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia (Lansia). Konselor Vol. 5 No. 2, 93-99.
Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2004). Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Halgin, R. P. (2012). Psikologi Abnormal Perspektif Klinis pada Gangguan Psikologis. Jakarta: Salemba Humanika.
Lubis, N. L. (2009). Depresi, Tinjauan Psikologis. Jakarta: Kencana.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
Priyanka, Dhia. (2019). Suga ‘BTS’ hingga IU, Berikut Deretan Kpop Idol yang Mengalami Gangguan Kecemasan. Diakses pada tanggal 7 Desember 2019. https://journal.sociolla.com/lifestyle/kpop-idol-alami-gangguan-kecemasan?page=3
Ramaiah, S. (2003). Kecemasan Bagaimana Mengatasi Penyebabnya. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Sundari, S. (2004). Ke Arah Memahami Kesehatan Mental . Yogyakarta: PPB FIP UNY.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membedah Unsur Intrinsik dan Struktur Teks Novel "Moga Bunda Disayang Allah"