Membedah Unsur Intrinsik dan Struktur Teks Novel "Moga Bunda Disayang Allah"
Nama :
ZAIZAFUN HAFIZHAH ULFAH
Kelas : XII
MIPA 1
SMA N 3 SAMARINDA
SMA N 3 SAMARINDA
Novel
“Moga Bunda Disayang Allah”
Karya:
Tere-liye
(Cet.
XIV, Juni 2012)
A.
UNSUR
INTRINSIK
No.
|
Unsur Teks
|
Jawaban
Lengkap
|
Bukti Halaman
|
1.
|
Tema
|
Tema
adalah ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalannya carita dalam
sebuah novel. (menurut Rustamaji dalam Kosasih, 2003 : 255)
|
|
Keterbatasan
bukanlah alasan untuk berputus asa.
|
(Dapat
dilihat di seluruh isi novel)
|
||
2.
|
Tokoh
& Perwatakan
|
Penokohan
merupakan penggambaran karakter pelaku/tokoh dalam cerita. Pelaku bisa
diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, dan lingkungan tempat
tinggalnya. (menurut Rustamaji dalam Kosasih, 2003:256)
|
|
Melati:
1.
Ceria
2.
Jahil
3.
Keras kepala
4.
Pemarah
|
“Bunda,
bangun! … ukuran king-size. Tertawa
(hal. 4)
“Bunda,
bangun! … tukang kebun. Jahil! (hal. 5)
“BAAA!”
Melati … meja makan. Marah. (hal. 56)
“Tetapi
di hari kelima, … mengingat kejadian itu. (hal. 36)
|
||
Bunda:
1.
Sabar
2.
Tabah
3.
Dermawan
4.
Berhati besar
5.
Penyayang
|
“Kau
sudah bangun, … senyuman itu percuma(hal.14)
Bertahanlah
Anakku,
… menguntai doa. (hal. 137)
“…
Seminggu terakhir … menahan sedan. (hal. 36)
“Jangan
teriak-teriak, Sayang!” … memukul-mukul meja makan. Marah. (hal. 56)
“Tidak
apa-apa, Salamah! … Bunda menoleh, tersenyum. (hal.15)
|
||
Karang:
1.
Kasar
2.
Tegas
3.
Penyayang.
|
“GUNAKAN
SENDOK!” “SENDOK, MELATI!!” (hal. 136)
Karang
mengusap rambut ikal … pintu ruang makan (hal. 146)
Karang
tertawa. … justru akan membunuhnya!” (hal.72)
“Buat
apa? … mendengus sebal, memotong. (hal. 65)
Karang,
pemuda di atas ranjang … Mata merahnya terbuka. (hal. 30)
|
||
Kinasih:
1.
Ramah
2.
Penyayang
3.
Pandai menghibur
4.
Berjiwa mulia
5.
Lemah lembut
|
“Sudah
seminggu, Bun. … kunang-kunang di luar sana. (hal. 34)
“Melati
akan baik-baik saja, … Mencoba membesarkan hati (hal. 39)
Kinasih
pelan mengambil tisu … keluar dengan sendirinya. (hal. 36)
Kinasih
tertawa kecil … “Melatinya mana, Bun?” (hal.34)
|
||
Salamah:
1.
Pelupa
2.
Setia
3.
Mudah panik
4.
Sangat menghormati majikan
|
“Aduh,
maaf! … Salamah lupa lagi…” (hal. 15)
Ia
satu di antara sembilan pembantu … Terlalu setia malah. (hal. 22)
“BA…
MA… AAA…” … ikut menambah kepanikan. (hal. 56)
Salamah
gagap mendengar … “Air panas untuk ibu lagi?” (hal. 34)
|
||
Tuan
HK:
1.
Tegas
2.
Penyayang.
3.
Pekerja keras
4.
Bertanggung jawab
|
“APA
YANG KAU LAKUKAN!”…membanting putrinya
terduduk. (hal.103)
Tuan
HK mencium kening melati, … Mang Jeje, semuanya ikut…” (hal. 282)
“Aku
mandi dulu … Menatap punggung suaminya. (hal. 49)
Tapi
sebelum Tuan HK … dari mangkuk bubur. (hal. 101)
|
||
Ibu-ibu
Gendut: penuh kasih sayang dan penyabar.
|
Ibu-ibu
gendut menelan ludah, … Mereka membutuhkan bantuanmu…” (hal.65)
|
||
Suster
Tya: sabar.
|
“Ayo,
Melati … mengerti aturan mainnya. (hal.56)
“Biarkan
Tya… Biarkan!” … Tya mengusap wajah kebasnya. (hal. 57-58)
Tya
menutup mulutnya … melihat beling yang berserakan. (hal. 26)
|
||
Dokter
Ryan: ramah, tegas, dan penuh tanggungjawab.
|
“Untuk
ukuran seseorang … Dokter Ryan tersenyum. (hal. 290)
|
||
Mang
Jeje: setia dan humoris.
|
“Tiga
tahun lamanya … bermain senang di atasnya…” (hal. 286)
|
||
3.
|
Alur
|
Alur
merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur dibagi menjadi 3 jenis: maju,
mundur, dan campuran. (menurut Tukan
dalam Kosasih, 2003 : 257)
|
|
Maju-mundur
/ Campuran
|
“Selama
tiga tahun … masa-masa menyakitkan itu.” (hal. 67)
|
||
Awal:
Disuatu
kota terdapat sebuah keluarga kaya raya. Yaitu, keluarga HK. Mereka mempunyai
seorang anak yang cantik, bola matanya hitam legam seperti buah leci,
rambutnya bergelombang seperti ombak. Namanya Melati. Sayang Melati tidak
dapat melihat dan mendengar. Setiap hari Melati selalu mengamuk terutama saat
sarapan. Ia melempar semua barang yang ada di depannya. (hal 4-39)
|
|||
Tengah:
Bunda
HK tidak tega melihat anak semata wayangnya setiap hari mengamuk. Bunda HK
diberitahu ada seorang yang dapat membantunya yaitu Karang. Sayang membujuk
Karang tidaklah mudah, awalnya Karang menolak tawaran Bunda HK. Karang masih
tenggelam dalam rasa penyesalan dan masa lalunya, saat dimana kecelakaan itu
terjadi dan merenggut 18 anak taman baca dan satu murid kesayangannya,
Qintan. Namun akhinya hati Karang pun luluh. Karang mau menerima tawaran
Bunda HK untuk mendidik Melati. Ternyata mendidik Melati tidak semudah yang
dibayangkan Karang. Sikap Melati memaksa Karang untuk bersikap keras.
Perlakuan Karang tentu membuat Tuan HK geram. Ia tidak terima Melati
diperlakukan secara kasar. Berulang kali terjadi pertikaian tuan HK dan
Karang. (hal.51-268)
|
|||
Akhir:
Karena
kesabaran dan ketabahan Bunda HK dan ketekunan Karang mendidik Melati,
akhirnya melati bisa mengenal Tuhannya, Melati bisa mengontrol emosinya serta
Melati bisa mengenal kembali bundanya. (hal. 268-303)
|
|||
4.
|
Latar/Setting
|
(Menurut
Rustamaji dalam Kosasih, 2003 : 256)
Setting
merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan cerita, setting ini
meliputi waktu, tempat, dan keadaan-keadaan.
Latar
adalah hal penting yang membangun cerita dalam novel, yaitu berupa tempat
suatu kejadian terjadi serta keadaan yang berupa gambaran suatu kondisi yang
dihadapi oleh tokoh-tokoh dalam cerita.
|
|
Waktu:
1.
Pagi hari
2.
Sore hari
3.
Malam hari
4.
Tiga tahun lalu
|
Apalagi
yang hendak diucap, … horizon cakrawala. (hal. 1)
Matahari
senja bersiap menghujam di balik perbukitan. ( hal. 25)
Kunang-kunang
itu terbang … terlihat menawan. (hal.33)
“Keadaannya
masih sama … Suara Bunda tercekat. (hal.35)
|
||
Tempat:
1.
Di sebuah kota dekat bukit
2.
Rumah ibu gendut
3.
Rumah keluarga HK
4.
Laut
|
Di
belakang kota, … menutupi perbukitan. (hal. 1)
Di
salah satu rumah … ranjang kayu kusam. (hal. 11)
Salamah
yang berdiri … melirik ke luar. (hal. 33)
“AWAS
OMBAK BESAR … memutar kemudi. (hal.17)
|
||
Suasana:
1.
Sedih
2.
Tegang
3.
Hening
4.
Haru
|
Dan
Bunda seketika menangis … Amat sesak. (hal. 8)
“ANAK
INI TIDAK MEMBUTUHKAN … Bersahut-sahutan. (hal. 37)
Kamar
itu hening … kalimatnya barusan. ( hal. 34)
“Baaa, maaa…
Baa… Maa…” … sungguh
membuncah hati. (hal. 302-303)
|
||
5.
|
Sudut
Pandang
|
Sudut
pandang adalah posisi pengarang dalam cerita novel. Sudut pandang dibagi
menjadi 3, yaitu: sudut pandang orang pertama (pengarang menggambarkan
dirinya sebagai aku), orang kedua (pengarang menggambarkan dirinya sebagai
kamu atau kalian), orang ketiga (pengarang menggambarkan dirinya sebagai
mereka, dia, atau tidak menggambarkan dirinya atau menyebutkan nama tokoh).
(menurut Harry Show dalam Kosasih, 2003 : 257)
|
|
Orang
ke tiga serba tahu
|
Ibu-ibu
gendut itu berdiri … Hanya memperhatikan. (hal.21)
|
||
6.
|
Diksi
& Gaya Bahasa
|
Gaya
bahasa adalah alat utama pengarang untuk melukiskan, menggambarkan, dan
menghidupkan cerita secara estetika. (menurut Rustamaji dalam Kosasih, 2003 :
257)
|
|
Parabola
|
Mungkin
kutunya sudah beranak-pinak lima generasi. (hal. 11)
|
||
Personifikasi
|
Burung
gelatik tetap asyik bercengkerama di hamparan rumput taman (hal. 108)
|
||
Metafora
|
Rambut
ikal melati mengombak. Pipinya tembam macam donat. Bola matanya hitam-legam
seperti biji buah leci. Dan giginya kecil-kecil bak gigi kelinci. (hal. 4)
|
||
7.
|
Amanat
|
Amanat
merupakan unsur terakhir yang terdapat dalam unsur intrinsik novel, berupa
pesan yang ingin disampaikan oleh penulis melalui alur dalam novel. (menurut
Kosasih, 2003 : 258)
|
|
Setiap
orang pasti punya kekurangan. Jangan sampai kekurangan itu menjadikan kita
berputus asa. Terus berusaha dan jangan menyerah, selama kita mau berusaha
pasti disitu ada jalan.
|
Tersirat
|
||
Kita
harus bersabar dan terus berdoa agar yang kita inginkan akan dikabulkan.
|
Tersirat
|
||
Cintailah
anak-anak. Buakan karena mereka terlihat menggemaskan, tap karena menyadari
janji kehidupan yang lebih baik selalu tergenggam di tangan anak-anak.
|
Hal. 290-291
|
B.
STRUKTUR
TEKS
No.
|
Struktur Teks
|
Kutipan
Kalimat
|
Bukti Halaman
|
1.
|
Abstrak
|
Abstrak adalah bagian ringkasan isi
cerita yang biasanya bisa ditemukan pada bagian awal cerita.
|
|
(Tidak ada abstraksi)
|
-
|
||
2.
|
Orientasi
|
Orientasi
adalah bagian penjelasan mengenai latar waktu dan suasana terjadinya cerita,
terkadang juga berupa pembahasan penokohan/perwatakan.
|
|
Melati
terus meraba-raba. Tidak peduli. Tidak mendengarkan. Tiba di tepi ranjang,
menyibak bantal. Mulutnya terbuka, mendesiskan suara yang tak berbentuk kata.
Wajah kanak-kanak yang baru bangun tidur itu menjulur ke depan. Wajah yang
tetap terlihat menggemaskan, tidak perduli sebesar apapun takdir
menyakitinya.
“Terima
kasih sudah membangunkan Bunda, Sayang!” Bunda lembut meraih tangan putri
semata wayangnya. Tertatih mencoba berdiri. Menghela napas pelan. Bunda tahu
persis tak ada siapa yang membangunkan siapa. Ini hanyalah ritual pagi Melati.
Mana
mengerti Melati tentang tidur dan bangun.
“Aduh,
pakaian Ibu basah! Basah kenapa?” Terdengar seruan dari bingkai pintu kamar
tidur. Salamah bergegas masuk sambil berseru-seru panik seperti biasanya.
Salamah yang tadi mendengar teriakan Melati dari dapur bergegas datang.
|
Hal. 14-15
|
||
Tya
sedang sibuk membujuk Melati melepaskan tembikar China dari genggamannya.
Melati seperti biasa, mendengus galak. Selalu marah kalau dilarang. Tangan
kirinya yang bebas menggapai-gapai udara. Mengancam. Bersungut-sungut. Bola
matanya yang hitam bagai biji buah leci mendelik. Kemarahan itu kapan saja
siap meledak….
“Kembalikan,
Sayang—“ Tya membujuk cemas.
“BAAA…
MAAA…” Melati berseru-seru. Menghentak-hentakkan kakinya di lantai. “Aduh,
kembalikan, Sayang! Nanti Tya dimarahin Bunda!”
“BAAAA—“
“Jangan
dilempar, Melati!”
“BAAA!!!”
“Ja—“
“PYAR!”
Dalam sekejap tembikar mahal itu menghantam kaca jendela besar berukuran 1x2
meter. Hancur berkeping-keping. Tembikarnya, juga kaca jendelanya. Tya
menutup mulutnya. Wajahnya pias. Pucat-pasi. Gentar melihat beling yang
berserakan. Bunda terkesiap di atas ranjang kamar tidur lantai dua. Gemetar
menyingkap selimut. Gemetar turun dari ranjang. Putrinya baru saja kembali
merajuk tanpa alasan. Entah sekarang memecahkan apa. Selalu begitu sepanjang
tahun ini. Sedikit-sedikit marah. Sedikit-sedikit melemparkan apa saja.
|
Hal. 25-26
|
||
3.
|
Komplikasi
|
Komplikasi
dalah urutan kejadian yang dihubungkan oleh sebab-akibat, dimana setiap peristiwa
terjadi karena adanya sebab dan mengakibatkan munculnya peristiwa lain.
|
|
Orang-orang
berteriak. Orang-orang panik. Melati yang berteriak-teriak marah, melempar
apa saja barang yang ditabraknya. Bunda berseru-seru panik. Tuan HK berusaha mencengkeram
salah satu dokter karena dokter itu berusaha mencengkeram Melati untuk
menenangkannya.
|
Hal. 37
|
||
“Melati
tidak gila!” Bunda bergumam tidak terima.
“Maafkan
kami, Nyonya—“ Tersenyum tipis.
“Melati
tidak gila!” Bunda mendesis galak.
“Hanya
orang gila yang bisa menggigit hampir putus jari orang lain, Nyonya!” Salah
satu dokter menyela lebih galak, jengkel.
|
Hal. 38
|
||
4.
|
Evaluasi
|
Evaluasi
adalah bagian dimana konflik yang terjadi pada tahap komplikasi terarah
menuju suatu titik tertentu.
|
|
“BA…
MA… AAA…” Melati mendadak berteriak kencang.
“Eh,
copot, copot, copot!” Salamah yang mengantarkan air jeruk panas buat Bunda
ikut berseru-seru panic. Sebenarnya kalau ada keributan seperti ini, Salamah
juga berperan ikut menambah kepanikan.
“Jangan
teriak-teriak, Sayang!” Bunda tersenyum. Menenangkan.
Suster
Tya yang tadi kaget mendengar teriakan Melati, menarik tangannya. Mukanya
sedikit pias, lagi-lagi Melati mengamuk.
“BAAA!”
Melati memukul-mukul meja makan. Marah.
“Jangan
pukul mejanya, Melati!” Tya takut-takut berusaha menghentikan tangan Melati.
|
Hal. 56
|
||
Tuan
HK menelan ludah, berkata tajam,
“Biarkan Tya… Biarkan!”
Tya
menatap setengah bingung, setengah panik. Kalau
dibiarkan? Nanti melempar piring lainnya? Aduh, bagaimana ini? Tuan HK
menatap tajam…. Tya mengusap wajah kebasnya. Serba salah. Beruntung, Melati
yang bersungut-sungut marah sudah melangkah tak jelas arah, meninggalkan meja
makan. Menuju anak tangga pualam. Bunda mengikuti. Membujuknya untuk kembali.
Percuma Melati hanya menggerung. Sebal,
marah, benci, entahlah—kalau ia mengerti semua perassan itu.
|
Hal. 57-58
|
||
5.
|
Resolusi
|
Resolusi adalah bagian yang
memunculkan solusi atas konflik yang terjadi.
|
|
“Kinasih
sempat menemani Melati siang tadi. Kangen. Tidak sadr, bahkan memeluk Melati.
Mungkin lupa aturan mainnya….” Bunda terdiam sebentar, tertawa getir, “Dan
Melati menjambak kerudung sekaligus rambut Kinasih—“
|
Hal. 62
|
||
“Tidakkah
kau sejenak saja bisa berdamai dengan masa lalu itu?” Ibu-ibu gendut bertanya
pelan, menyentuh lembut lengan Karang.
Karang
tertunduk. Bergumam sebal. Mengusap wajahnya. Berdamai? Itu mungkin tidak akan pernah terjadi. Andai ia bisa
melakukannya. Andai ia bisa menemukan caranya. Tapi semua itu terlalu
menyakitkan, terlalu menyesakkan…
|
Hal. 68
|
||
6.
|
Koda
|
Koda adalah bagian akhir atau penutup
cerita.
|
|
Dua
hari lalu Melati merajuk. Benar-benar merajuk. Lebih besar dan lebih heboh
dibandingkan sebelum ia tahu cara berkomunikasi. Membuat susah seluruh isi
rumah. Penyebabnya sederhana saja, Karang memberitahu kalau ia akan kembali
ke Ibukota bersama Kinasih.
Ada
banyak pekerjaan yang tertunda di sana. Ada banyak yang harus ia kerjakan di
sana.
|
Hal. 299
|
||
Bunda
bisa menerima situasinya, meskipun ia sungguh berharap Karang akan selalu
bersama Melati. Ia mengerti, ada banyak anak-anak lain yang membutuhkan
Karang. Bunda hanya bisa menatap sedih putrinya yang duduk memeluk lutut di
bawah anak tangga pualam sepanjang hari. Melati benar-benar keras kepala. Ia
bahkan pura-pura tidak bisa ‘bicara’ lagi
dengan seluruh anggota keluarga selama dua hari terakhir. Berteriak-teriak
persis seperti sebelum ia tahu cara berkomunikasi.
|
Hal. 300-301
|
||
Tapi
tadi sore, saat Karang bersiap dengan koper lusuh dan mesin ketik tuanya.
Saat Kinasih datang menjemput. Saat mereka siap pergi menumpang kereta malam.
Entah mengapa gadis kecil itu berlari turun dari kamar birunya. Tersandung.
Jatuh berdebam. Berdiri lagi. Berlarian mengejar Karang yang sudah bersiap
menaiki mobil. Mengejar Karang yang tadi menelan ludah kecewa karena gadis
kecil itu mengurung diri di kamar itu. Menolak bertemu.
Saat
Karang sudah membuka pintu mobil, Melati menggerung, berteriak-teriak dari
ruang tengah. Menangis. Gadis kecil
itu menangis. Memanggil. Melangkah terhuyung. Kakinya tadi terkena anak
tangga, sakit sekali. Berusaha mendekat. Membuat semua kepala tertoleh. Bunda
seketika menangis melihat putrinya. Tuan HK mengusap ujung-ujung matanya.
|
Hal. 301
|
bgus bngett👍🏻👍🏻👍🏻
BalasHapus